Debur ombak semakin terdengar keras, angin berhembus kuat, rambutku pun bergerak-gerak, seperti iklan sampo, si Mei tertawa cekikikan, “Kenapa Mei? aku sibuk menyibakkan rambut, “Kamu ganjen benerin rambut mulu”. “Ye namanya juga rambutku lemes..gerak-gerak terus jadinya.sembari kupandang si Mei sekilas, aku tidak berani memandangnya terlalu lama. Kulihat Mei duduk sambil mendekap kakinya, melepas pandangan jauh ke laut luas. Matanya nanar entah apa yang sedang dipikirkannya.
Tiba-tiba dia
menjulurkan kakinya lurus “Eh Rie, kakiku besar lho, tuh lihat”, selorohnya
tanpa canggung, padahal kaya gitu adalah hal yang tabu bagi cewek. “Iya ya
besar, punyaku juga”. Aku tak mau kalah menjulurkan kaki. “Aku waktu smp aja
udah 40 kakiku” “Sama Rie kakiku 40 sekarang, susah cari sepatu cewek yang pas”
sembari dia goyang-goyangkan kedua kakinya. “Tapi aku sekarang 41 Mei naik
1.hehe” ‘Kita foto aja gimana? Kaki dua orang aneh !” “Boleh !” sahutnya
antusias, jadilah foto kedua kaki kami itu. Mei cekikikan, “Aku pasang di Net
ah” “Hei..hei, kalau jadi gossip gimana?” Aku pura-pura panik. “Biarin” mei
masih terlihat sibuk dengan handphone-nya
Senja semakin
redup, matahari semakin turun mendekati khatulistiwa. Cahaya kuning yang lembut
memanjakan mata kami. “Bagus ya Mei..” “Iya, bagus.. sunset selalu bagus Rie,
apalagi ditambah dihamparan lautan sperti ini, begitu sempurna” Mei sependapat.
“Eh mei spertinya sudah waktunya pulang”, aku melongok jam tangan ku yang sudah
menunjuk setengah 6, “Aku gak mau kamu kemalaman” Mei seperti malas beranjak, “Udah
PW nih Rie” “Ayolah..nanti kamu dicariin ortumu..”, aku mendesak. Aku tahu Mei
tipe anak rumahan, dia tak boleh keluar malam dan dan ini sudah mendekati malam
! apa dia akan “berubah” jika malam, pikirku ngaco. Dia memang tinggal bersama
ortunya, tidak seperti aku yang kos, bisa terserah pulang jam berapa aja. Muka
Mei manyun, “Oke deh”, dia beranjak malas-malasan. Ingin kurengkuh tangannya
dan mengajaknya bangun. Tapi siapa aku batinku.
Aku sudah sampai
duluan di sepeda motor dia masih terpaku dengan matahari yang mulai tenggelam. Dengan
tatapannya yang sama, nanar dan menembus jauh ke horizon. “Mei..”, panggilku
pelan, aku tak ingin memanggil paksa, iya Rie yuk pulang, sahutnya sambil
tersenyum manis, dia berlari lari kecil ke arahku. Ingin ku peluk dia saat lari
ke arahku. Ups pikiran aneh lagi muncul, Mei manis sekali, walau kadang aku
melihat gurat wajah lelahnya. Tapi aku merasakan kenyamanan disampingnya,
seperti saat ini dia duduk berboncengan naik sepeda motor, sudah sangat membuat
hatiku membumbung. Bagaimana tidak, aku tak pernah berkencan seperti ini
sebelumnya !Dia begitu meperhatikan apa yang aku katakan, begitu juga
sebaliknya, aku memperhatikan apa yang dia katakan. Karena kami..saling
tertarik begitulah adanya, pembicaraan kami mengalir seperti air.
“Nah, sekarang
sudah sampai di parkiran”, kataku. Meman kita sebelumnya janjian di kampus Mei,
jadi aku antar dia kembali kesana, “Eh sudah sampai ya, cepet sekali. Aku masih
pengen maen Rie”, Mei merajuk. Sungguh tak biasa dia memang wanita yang mandiri
tapi di depanku seolah sisi manjanya keluar semua. “Sebentar lagi maghrib Mei..”,
sambil kuberi senyum manis yang sedikit aku paksakan. “Iya ya.hehe. dia
meringis. “Sampai ketemu lagi ya.., Aku mau nunjukin semua ke kamu, biar kamu
gak kuper” “Wuu, iya iya yang gaul…nanti kita sambung lagi ntar kasih tahu aja
mau kemana lagi”, sahutku semangat. “Silahkan duluan Mei”, kali ini dengan
senyum yang tak kupaksakan. “Iya Rie..”, dia membalas dengan senyum gigi
kelincinya. “Assalamu’alaikum..”, “Wa’alaikumsalam…” senja semakin gelap, aku
pulang dengan sejuta perasaan yang berkelebat. Senang..of course. Sedih !
kenapa cepet banget sih and..bingung, apa Mei punya perasaan yang sama..masih
sibuk dengan pikiran di tengah kepadatan kota. Entahlah…


0 komentar:
Post a Comment