![]() |
| Moment Tertawa Walau Sementara, Dia Akan Tetap Terpatri Abadi di Dalam Hati |
Langkah gontai
lagi berjalan ke kampus, pagi yang seharusnya segar dan cerah ini tak bisa
kunikmati. “Sungguh aku mengantuk berat ! !”,aku membatin. “Woi Rie, nape lu.
hahaha. kantung mata lu gantung tuh kaya yang laen” Eza spontan mengomentari
keadaanku yang babak belur. “Kamu juga Za” jawabku sekenanya sambil duduk
bersila, melanjutkan tulisanku yang belum selesai. “Pay, udah kelar belum? aku
bertanya pada temanku yang sepertinya senasib. “Belum kelar Rie, sumpah dah
banyak banget. Semalem aku udah gak kuat, ketiduran”. jawabnya, sambil terus
menulis “Duh waktu asistensi sebentar lagi ya” gumamku gusar. Aku tak perlu
bertanya sama Eza dari duduknya yang santai aku sudah tahu kalau dia sudah
selesai. “Mbatik apa nulis Lu” recok Eza. Eza yang anak jakarta, tak pernah
lepas dari logat “Lo Gwa” . Walaupun aku
kurang suka dengan logat itu, tapi sebenarnya dia adalah anak yang baik. Dia
adalah ketua kami di angkatan walaupun kadang tu anak kadang error. Tapi dia
adalah ketua yang bertanggung jawab.
Saat ini aku
memiliki teman kelompok Eri dan Asna, karena sama-sama baru pertama kali kami
kelimpungan mengerjakan ini semua. Praktikum satu ini benar-benar berbeda dari
waktu kami sekolah, bisa dibilang kami kaget. Kami berlangganan banyak point.
Jangan di bayangkan sebagai point plus-plus yang bisa ditukarkan dengan hadiah.
Ini adalah point pengurangan nilai. Entah karena mengumpulkan laporan telat,
entah hal sepele seperti susunan laporan terbalik, hingga karena memecahkan
peralatan lab, benar-benar “chaos”. Bila memecahkan alat sudah ganti dapet poin
pula, sudah jatuh tertimpa tangga. “Rie aku bikin pembahasan, dan cari
referensi ya. Kamu yang bikin perhitungannya”. “Oke Ri” jawabku kurang
semangat. Eri yang paling banyak berkorban, dia asli kota ini, satu-satunya
yang memiliki kendaraan di kelompok kami, jadi terpaksa dialah yang mengantar
laporan ke asisten. Asna sebenarnya baik hanya saja dia seperti kurang sehat. Dia
sering terlihat lemas. Aku enggan untuk bertanya lebih jauh dan membebaninya
banyak pekerjaan, tidak enak hati.
Aku masih di kos
ku yang lama, tak ada apapun, selain
hamparan sawah yang bisa dilihat dari loteng lantai dua. Tak bisa kusebut
lantai dua sebetulnya. Karena tangga naik itu sama sekali memiliki pegangan. “Mas
lagi ngapain”, aku menaiki tangga dengan hati-hati. “Biasa Rie, melamun dan melihat
sawah” sambut mas Amam hangat. Aku suka dengan pribadi mas Amam yang sederhana
dan bersahabat, kala itu hiburanku satu-satunya di tengah-tengah sibuknya
laporan adalah memandangi hijaunya sawah, terkadang iseng memperhatikan kos
cewek ada di seberangnya. “Wih mas, ada cewek” bisikku girang. Terlihat wanita yang
berada disamping jendela, karena letaknya yang cukup jauh jadi tidak begitu
terlihat. “Coba kita punya teropong yang mas, kita bisa mengintip dengan jelas.
Hahaha” mas Amam pun ikut tertawa. “Kenapa kita punya pikiran yang sama ya Rie”,
tawanya lepas.
Lambat laun
kosku mulai ramai ada Arji, Takas ada Bone. Yang satu ini namanya Bone, asli NTT.
Dia selalu berapi-api jika harus menceritakan kisahnya saat SMA “Aku itu Rie,
yang pegang sekolah, aku disegani waktu itu”, Bisa jadi batinku. Walau sedikit kurus
badanya terlihat beroto ditambah lagi wajahnya yang sangar itu. Waktu itu kami
sedang ospek, praktis kami semua botak. Bone membuka dompetnya. “Nih aku
tunjukkin fotoku”, Aku terbelalak, “Wah kaya rocker ! !” pekikku. Terlihat
wajahnya keriting habis, gondrong terurai ke bawah. Dia kemudian menunjuk
perutnya, ada bekas luka bergaris sekitar dua jari. “Ini dulu waktu dikeroyok
dan aku sendrian. mereka sempat menggores perutku dengan pisau”, sumbar Bone.
Entah benar atau tidaknya cerita itu aku pun hanya manggut-manggut. Tapi
melihat semua bukti itu, aku hampir-hampir percaya dengan apa yang dia
ceritakan.
Aku selalu
bersemangat ke kamar Bone, karena dialah satu-satunya penghuni kos yang
memiliki tivi, walaupun tivi itu berukuran kecil dan menggunakan antena dalam.
Sesekali goyang dan bersemut. tapi sudah
menjadi surga yang tak terkira bagiku. Akhirnya setelah berminggu-minggu tanpa
tivi, akhirnya aku melihat box yang berisi gambar bergerak itu. “Teknologi,
akhirnya aku melihatmu ! !”, batinku riang. Aku akhirnya memang memutuskan
pindah ke kos yang baru, tapi memang kos lama itu selalu meninggalkan kenangan.
Kosku pertamaku, kos yang serasa membuatku di dunia lain, karena homesick
berat. Entah dimana teman-temanku itu sekarang, aku merindukan kalian semua.


0 komentar:
Post a Comment