Saturday, June 29, 2013

Awal - "Pelangi di Ujung Senja" - RIE

Moment Tertawa Walau Sementara, Dia Akan Tetap Terpatri Abadi di Dalam Hati
“Tulis tangan semua?!” pekikku dalam hati. “Gila, laporan berlembar-lembar dan semuanya ditulis tangan”, rutuk hatiku. Hari pertama membuat laporan praktikum. Tak kusangka tahap awal kuliah begitu berat. Belum lagi saat itu sedang puasa dan aku belum membawa kendaraan, bolak-balik kampus sejauh 3 kiloan aku tempuh dengan modal kaki, jalan kampus yang menanjak menambah penderitaan. Begadang..sedikit tidur sudah bukan barang baru lagi. Sama seperti malam ini walau linu di seluruh jariku. “Huft..aku harus bisa! !”, menyemangati diri sendiri. Lewat dini hari aku baringkan tubuhku, belum genap 3 jam aku kembali teruskan menulis, sembari menelan berat nasi-nasi yang kubeli di warung sebelah. aku beli dengan mata terkantuk-kantuk sama seperti mahasiswa lain yang membeli sahur, tak ada bedanya dengan aku, mengantuk berat dan kantung mata yang menggantung.

Langkah gontai lagi berjalan ke kampus, pagi yang seharusnya segar dan cerah ini tak bisa kunikmati. “Sungguh aku mengantuk berat ! !”,aku membatin. “Woi Rie, nape lu. hahaha. kantung mata lu gantung tuh kaya yang laen” Eza spontan mengomentari keadaanku yang babak belur. “Kamu juga Za” jawabku sekenanya sambil duduk bersila, melanjutkan tulisanku yang belum selesai. “Pay, udah kelar belum? aku bertanya pada temanku yang sepertinya senasib. “Belum kelar Rie, sumpah dah banyak banget. Semalem aku udah gak kuat, ketiduran”. jawabnya, sambil terus menulis “Duh waktu asistensi sebentar lagi ya” gumamku gusar. Aku tak perlu bertanya sama Eza dari duduknya yang santai aku sudah tahu kalau dia sudah selesai. “Mbatik apa nulis Lu” recok Eza. Eza yang anak jakarta, tak pernah lepas dari logat “Lo  Gwa” . Walaupun aku kurang suka dengan logat itu, tapi sebenarnya dia adalah anak yang baik. Dia adalah ketua kami di angkatan walaupun kadang tu anak kadang error. Tapi dia adalah ketua yang bertanggung jawab.

Saat ini aku memiliki teman kelompok Eri dan Asna, karena sama-sama baru pertama kali kami kelimpungan mengerjakan ini semua. Praktikum satu ini benar-benar berbeda dari waktu kami sekolah, bisa dibilang kami kaget. Kami berlangganan banyak point. Jangan di bayangkan sebagai point plus-plus yang bisa ditukarkan dengan hadiah. Ini adalah point pengurangan nilai. Entah karena mengumpulkan laporan telat, entah hal sepele seperti susunan laporan terbalik, hingga karena memecahkan peralatan lab, benar-benar “chaos”. Bila memecahkan alat sudah ganti dapet poin pula, sudah jatuh tertimpa tangga. “Rie aku bikin pembahasan, dan cari referensi ya. Kamu yang bikin perhitungannya”. “Oke Ri” jawabku kurang semangat. Eri yang paling banyak berkorban, dia asli kota ini, satu-satunya yang memiliki kendaraan di kelompok kami, jadi terpaksa dialah yang mengantar laporan ke asisten. Asna sebenarnya baik hanya saja dia seperti kurang sehat. Dia sering terlihat lemas. Aku enggan untuk bertanya lebih jauh dan membebaninya banyak pekerjaan, tidak enak hati.

Aku masih di kos ku yang lama, tak ada apapun,  selain hamparan sawah yang bisa dilihat dari loteng lantai dua. Tak bisa kusebut lantai dua sebetulnya. Karena tangga naik itu sama sekali memiliki pegangan. “Mas lagi ngapain”, aku menaiki tangga dengan hati-hati. “Biasa Rie, melamun dan melihat sawah” sambut mas Amam hangat. Aku suka dengan pribadi mas Amam yang sederhana dan bersahabat, kala itu hiburanku satu-satunya di tengah-tengah sibuknya laporan adalah memandangi hijaunya sawah, terkadang iseng memperhatikan kos cewek ada di seberangnya. “Wih mas, ada cewek” bisikku girang. Terlihat wanita yang berada disamping jendela, karena letaknya yang cukup jauh jadi tidak begitu terlihat. “Coba kita punya teropong yang mas, kita bisa mengintip dengan jelas. Hahaha” mas Amam pun ikut tertawa. “Kenapa kita punya pikiran yang sama ya Rie”, tawanya lepas.

Lambat laun kosku mulai ramai ada Arji, Takas ada Bone. Yang satu ini namanya Bone, asli NTT. Dia selalu berapi-api jika harus menceritakan kisahnya saat SMA “Aku itu Rie, yang pegang sekolah, aku disegani waktu itu”, Bisa jadi batinku. Walau sedikit kurus badanya terlihat beroto ditambah lagi wajahnya yang sangar itu. Waktu itu kami sedang ospek, praktis kami semua botak. Bone membuka dompetnya. “Nih aku tunjukkin fotoku”, Aku terbelalak, “Wah kaya rocker ! !” pekikku. Terlihat wajahnya keriting habis, gondrong terurai ke bawah. Dia kemudian menunjuk perutnya, ada bekas luka bergaris sekitar dua jari. “Ini dulu waktu dikeroyok dan aku sendrian. mereka sempat menggores perutku dengan pisau”, sumbar Bone. Entah benar atau tidaknya cerita itu aku pun hanya manggut-manggut. Tapi melihat semua bukti itu, aku hampir-hampir percaya dengan apa yang dia ceritakan.

Aku selalu bersemangat ke kamar Bone, karena dialah satu-satunya penghuni kos yang memiliki tivi, walaupun tivi itu berukuran kecil dan menggunakan antena dalam. Sesekali goyang dan bersemut.  tapi sudah menjadi surga yang tak terkira bagiku. Akhirnya setelah berminggu-minggu tanpa tivi, akhirnya aku melihat box yang berisi gambar bergerak itu. “Teknologi, akhirnya aku melihatmu ! !”, batinku riang. Aku akhirnya memang memutuskan pindah ke kos yang baru, tapi memang kos lama itu selalu meninggalkan kenangan. Kosku pertamaku, kos yang serasa membuatku di dunia lain, karena homesick berat. Entah dimana teman-temanku itu sekarang, aku merindukan kalian semua.



0 komentar:

Post a Comment

 
;